Pengamat: Dominasi China di Smelter Nikel RI Buat Mereka Bisa Seenaknya Tentukan Harga Jual

Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan, dominasi China di smelter nikel RI menjadikan mereka bisa seenaknya menentukan harga jual. Di sisi lain, kata Fahmy, para penambang, termasuk yang dari dalam negeri, tak punya pilihan lain kecuali menjual ke smelter milik China, yang terkadang dijual di bawah harga keekonomian. "Belum lagi berbagai fasilitas yang diberikan (ke pengusaha China). Misalnya tax holiday dan sebagainya. Itu saya kira besar sekali yang dinikmati oleh China tadi," lanjutnya.

Apa yang dikatakan Fahmy merupakan bentuk kesetujuannya terhadap perkataan ekonom senior Faisal Basri yang sebelumnya menyebut hilirisasi yang dilakukan oleh pemerintah hanya mendukung industrialisasi di China. "Saya setuju dengan Faisal Basri yang mengenai pihak paling banyak menikmati nilai tambah ini. Indonesia iya dapat, tapi yang terbesar adalah China karena dia investasi di hulu kemudian juga di smelter. Jadi double keuntungannya," ujar Fahmy. Kejutan Elektabilitas Anies Cak Imin Tak Terkejar Ganjar Mahfud, Prabowo Gibran Apa Kabar?

Tanggalan Jawa Hari Selasa Legi 30 Januari 2024 18 Rajab 1957 Tahun Jawa 18 Rajab 1445H Katalog Promo Alfamart Hari ini 29 Januari 2024, Beli 3 Minuman S Tee hanya Rp 5.000 Ramalan Zodiak Hari Ini: Pisces Sukses, Sagitarius Hati hati saat Bicara, Senin 29 Januari 2024

Ramalan Zodiak Hari Ini Senin 29 Januari 2024: Taurus Dewasa, Gemini Nostalgia, Leo Lembar Baru Timnas Indonesia Kandas di Piala Asia, Suporter Minta STY Stay, Ini Kata Erick Thohir Kunci Jawaban Bahasa Indonesia Kelas 10 Halaman 88 89 Kurikulum Merdeka: Teks Negosiasi Halaman all

Ia mengatakan, bila berbicara mengenai hitung hitungan pemasukan negara setelah pemerintah melarang ekspor bijih nikel, memang memberi nilai tambah. Ia menyebut angka yang dikemukakan Presiden Jokowi dan Faisal Basri juga hampir sama. Namun, jika berbicara mengenai negara mana antara Indonesia dan China yang paling menikmati hasil hilirisasi ini, Fahmy menyebut Negeri Tirai Bambu menjadi yang paling menikmati.

"Saya kira Jokowi benar juga mengatakan bahwa negara dapat beberapa pajak royalti dan sebagainya, saya sepakat itu. Nah, tetapi siapa yang paling menikmati ya menurut saya China," kata Fahmy. "Kenapa China? Karena China awalnya dia kan investasi tambang sebagai penambang nikel. Nah kemudian adanya larangan ekspor tadi kemudian diwajibkan membangun smelter dan sebagian besar dari China. 90 persen lebih itu dari China," sambungnya. Perdebatan antara Presiden Joko Widodo dan Ekonom Senior Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri kian memanas.

Hal ini dimulai dari pandangan Faisal yang menyebut bahwa program hilirisasi nikel yang kini masif digarap Pemerintah, dianggap menguntungkan China dan negara lain. Namun setelah itu, Presiden Jokowi merespons tudingan Faisal, dan menegaskan hal tersebut salah kaprah. Menurut Jokowi, kebijakan hilirisasi industri telah mendongkrak nilai ekspor sumber daya alam, salah satunya nikel yang melonjak menjadi Rp 510 triliun setelah pemerintah menyetop ekspor bijih nikel.

Lewat nilai ekspor yang besar itu, pemerintah akan mendapat pemasukan yang besar dari sisi pajak, royalti, bea ekspor, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Jika tidak ada program hilirisasi, komoditas nikel saat diekspor dalam bentuk bahan mentah, kira kira hanya Rp 17 triliun per tahun. Presiden pun mempertanyakan balik metode yang digunakan Faisal Basri dalam menyatakan China dan negara lain diuntungkan dari kebijakan hilirisasi.

Faisal melalui blog pribadinya faisalbasri.com pun menjawab hitung hitungan Jokowi dan memaparkan hitungan versi dirinya. Ia menyebut angka angka yang disampaikan Jokowi soal nilai ekspor kurang jelas dan tidak jelas hitungannya. "Presiden hendak meyakinkan bahwa kebijakan hilirisasi nikel amat menguntungkan Indonesia dan tidak benar tuduhan bahwa sebagian besar kebijakan hilirisasi dinikmati oleh China," ucap Faisal dalam Blog pribadinya dikutip, Sabtu (12/8/2023). Faisal memaparkan, jika berdasarkan data 2014, nilai ekspor bijih nikel (kode HS 2604) hanya Rp 1 triliun. Ini didapat dari ekspor senilai 85,913 juta dollar AS dikalikan rerata nilai tukar rupiah pada tahun yang sama, yaitu Rp 11.865 per dollar AS.

Kemudian berdasarkan data 2022, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi adalah 27,8 miliar dollar AS. Sehingga, dengan rerata nilai tukar rupiah tahun 2022 sebesar 14.876 per dollar AS, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) setara dengan Rp 413,9 triliun. Dengan penghitungan tersebut, ekonom senior dari Universitas Indonesia (UI) itu sepaham dengan Jokowi bahwa benar adanya lonjakan ekspor yang sangat fantastis dari hasil hilirisasi, yaitu 414 kali lipat. Namun, yang menjadi sorotan Faisal adalah apakah uang hasil ekspor tersebut mengalir ke Indonesia. Hal ini mengingat hampir semua perusahaan smelter pengolah bijih nikel 100 persen dimiliki oleh China, dan Indonesia menganut rezim devisa bebas.

"Maka adalah hak perusahaan China untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri," kata dia. Menurut dia, kondisi itu berbeda dengan ekspor sawit dan turunannya yang dikenakan pajak ekspor atau bea keluar plus pungutan berupa bea sawit. Sedangkan untuk ekspor olahan bijih nikel sama sekali tidak dikenakan segala jenis pajak dan pungutan lainnya. "Jadi penerimaan pemerintah dari ekspor semua jenis produk smelter nikel nihil alias nol besar," ungkapnya.

Ia bilang, jika keuntungan perusahaan sawit dan olahannya dikenakan pajak keuntungan perusahaan atau pajak penghasilan badan, berbeda denganperusahaan smelter nikel yang justru bebas pajak keuntungan badan karena mereka menikmati tax holiday selama 20 tahun atau lebih. Dengan demikian, kata Faisal, penerimaan pemerintah dari laba luar biasa yang dinikmati perusahaan smelter nikel, hasilnya nihil. Perusahan perusahaan smelter China menikmati “karpet merah” karena dianugerahi status proyek strategis nasional "Kementerian Keuangan lah yang pada mulanya memberikan fasilitas luar biasa ini dan belakangan lewat Peraturan Pemerintah dilimpahkan kepada BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal)," paparnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *